FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Kebocoran data pemilih di situs resmi KPU RI menjadi ancaman serius menjelang pesta demokrasi. Aroma gagalnya Pemilu damai mulai tercium.
Tidak main-main, berdasarkan temuan Lembaga Cissrec menjelaskan peretas berhasil mendapatkan 253 juta data dan menjualnya senilai US$74 ribu atau Rp1,2 miliar.
Akademisi Universitas Negeri Makassar yang berkecimpung di bidang IT, Syamsu Alam menilai, masalah utamanya adalah ringkihnya sistem keamanan yang ada. Termasuk juga proses perawatan dan update proteksi yang tidak maksimal.
“Jelas itu masalah keamanan yang ada di servernya. Bisa saja tidak kuat, tidak diupdate security-nya atau aplikasinya ada yang tidak dihapus. Bisa juga ini server lama, sehingga ada orang yang bisa tahu di mana sisi lemahnya,” ujarnya.
Ketua Prodi Bisnis Digital Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNM itu juga menduga, ada dua hal yang bisa memicu peretasan server terjadi. Pertama unsur kelemahan proteksi, kedua ada pihak lain yang mencoba mengganggu hal itu dari luar.
“Makanya server itu harus diupdate terus, karena di situ ada buff yang bisa dimanfaatkan orang lain. Jadi yang memicu ini ada dua hal. Pertama karena memang kelemahan sistem di dalamnya, kedua ada orang dari luar yang ingin uji coba sistem,” terangnya.
Kata Alam, hal-hal seperti ini biasanya memang sengaja dilakukan agar terjadi keributan. Setelah itu, pihak terkait mencoba menawarkan sistem keamanan yang lebih baik kepada sasarannya dengan tujuan ada imbalan dalam berbagai bentuk.
“Biasanya memang sengaja dibuat riuh, supaya security yang digunakan itu harus diupdate. Ini arahnya jelas pada penambahan biaya supaya bisa lebih aman. Bisa saja ada pihak yang mau kasih tahu KPU tentang security yang lebih aman, dari pada nanti pada saat penghitungan suara terjadi kekacauan,” ungkapnya.