FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Politisasi bantuan sosial (bansos) oleh elite politik tertentu di momen politik 2024 disayangkan banyak pihak. Pasalnya, bansos sudah menjadi program tahunan pemerintah sehingga tidak pantas dipolitisasi sedemikian rupa.
Tidak heran, upaya politisasi bansos di tahun politik ini mendapat banyak sorotan dari berbagai pihak. Tidak terkecuali sorotan dari Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati.
Dia menilai, maraknya aksi politisasi bansos oleh elit kelompok untuk meraih simpati dan suara di masa kampanye bisa merusak proses demokrasi yang ada.
Pasalnya, Bansos bukan ‘milik perorangan’, melainkan program pemerintah. Namun, bansos diatur sedemikian rupa untuk kepentingan politik.
“Penerima bansos adalah mereka dengan jumlah KK dan pemilih basis yang sangat jelas dan diindikasikan akan dimanfaatkan oleh peserta pemilu,” ujar Neni dilansir dari jawapos.com.
Ini bukan kali pertama, Neni mengungkapkan pada tahun 2019 kasus Program Keluarga Harapan (PKH) juga dijadikan bahan politisasi. “Penyaluran bansos dilakukan dengan pembagian stiker dan materi kampanye politik lainnya,” katanya.
Penyaluran Bansos juga dilakukan pada saat-saat yang strategis, seperti masa kampanye seperti ini. Dari pusat sampai ke daerah. “Bukan hanya di pilpres, tetapi juga untuk pileg. Biasanya modus ini digunakan saat pertemuan terbatas dan tatap muka juga saat reses anggota DPR/DPRD,” jelas Neni.
Penyaluran bansos di masa kampanye, menurut Neni akan sulit dicegah, dilarang atau dibatasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).