Indonesia, Negara Kaya dengan Rakyat Miskin
Indonesia memang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, tetapi ironisnya, sebagian besar rakyat masih hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini merupakan paradoks Indonesia. Untuk menilai pencapaian ekonomi Indonesia dalam 30 tahun terakhir, kita dapat membandingkannya dengan negara lain seperti Tiongkok dan Singapura. Perbedaan besar aktivitas ekonomi atau pendapatan domestik bruto (PDB) antara Tiongkok, Singapura, dan Indonesia menggambarkan ketimpangan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang begitu pesat dalam 30 tahun terakhir disebabkan oleh prinsip-prinsip state capitalism, atau kapitalisme negara, di mana seluruh cabang produksi penting yang menguasai kebutuhan pokok masyarakat, dan sumber daya alam dikuasai oleh negara. Negara ini mengelola semua cabang produksi penting melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi negaranya. Di sisi lain, Indonesia, meskipun memiliki prinsip serupa dalam Pasal 33 UUD 1945, tetapi pengelolaan cabang produksi dan sumber daya alam banyak diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia belum sungguh-sungguh menjalankan Pasal 33 UUD 1945.
Di tengah kondisi ini, oligarki menguasai perekonomian Indonesia baik di tingkat nasional maupun daerah. Hal ini berdampak pada kehidupan ekonomi dan politik bangsa. 1% orang terkaya Indonesia menguasai 36% kekayaan Indonesia, sementara 10% orang terkaya menguasai 66% kekayaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa keputusan politik menentukan kemiskinan atau kekayaan rakyat Indonesia.
Untuk mewujudkan tujuan merdeka dan menjadi negara sejahtera, pengelolaan kekayaan negara harus dilakukan melalui keputusan politik yang tepat, baik di tingkat nasional maupun daerah. Kita harus belajar dari negara lain yang sudah maju dan belajar dari kesalahan di masa lalu. Deng Xiaoping, seorang pemimpin Tiongkok, telah membuktikan bahwa dengan kebijakan ekonomi yang tepat, suatu negara dapat bangkit dan menjadi negara kuat.
Saat ini, Indonesia perlu mencapai pertumbuhan ekonomi dua digit secara berkelanjutan selama 10 tahun berturut-turut, dimulai dengan pertumbuhan rata-rata 7% selama 5 tahun, untuk keluar dari perangkap negara menengah. Pertumbuhan ekonomi di bawah angka 10% akan sulit bagi Indonesia untuk naik kelas dan bersaing dengan negara-negara maju.
Paradoks Indonesia harus disadari oleh semua pihak, dan perlu langkah konkret untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Kita sebagai bangsa harus sadar bahwa kita tidak boleh puas dengan kondisi saat ini. Kita harus berjuang untuk keluar dari paradoks ini dan menjadi bangsa yang kuat, terhormat, dan sejahtera.