Mengapa kita harus memilih antara kapitalisme dan sosialisme? Pemikiran ini masih sering terjadi di Indonesia, namun sebaiknya kita tidak terjebak dalam polarisasi tersebut. Sebagai gantinya, kita bisa mengambil yang terbaik dari kedua sistem tersebut dan menggabungkannya menjadi satu. Inilah yang disebut oleh para tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan Prof. Sumitro sebagai ekonomi kerakyatan atau ekonomi Pancasila, yang juga tertuang dalam Undang-undang Dasar ’45.
Setelah tahun 1998, Indonesia seakan melupakan prinsip-prinsip ekonomi Pancasila. Kita terlalu tergoda dengan ide globalisasi dan pasar bebas, tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat. Nasionalisme bukanlah hal yang buruk, kita harus mencintai dan membela bangsa kita sendiri. Negara-negara lain juga melindungi kepentingan nasional mereka, mengapa kita tidak melakukan hal yang sama?
Kemandirian sebuah negara dalam memproduksi barang-barang di dalam negeri sangat penting. Menerapkan ekonomi konstitusi akan membantu meningkatkan kompleksitas ekonomi kita dan menguatkan Rupiah. Harus kita tinggalkan resep IMF tahun 1998 yang merugikan banyak sektor industri dalam negeri.
Sosialisme murni mungkin baik dalam teori namun sulit dijalankan dalam praktiknya. Sebaliknya, kapitalisme murni juga memiliki kelemahan yang mungkin merugikan rakyat kecil. Kita harus mengambil jalan tengah, dengan menerapkan ekonomi campuran atau ekonomi konstitusi. Pemerintah harus menjadi pelopor dalam membangun ekonomi, mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mengarahkan pembangunan nasional.
Paham ekonomi konstitusi menekankan pentingnya peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Pembangunan infrastruktur, pertanian, dan lapangan kerja tidak akan terwujud tanpa peran aktif pemerintah. Kita harus meninggalkan paham neoliberal yang mengedepankan minimnya peran pemerintah dalam ekonomi, karena kondisi Indonesia yang masih terus berkembang membutuhkan pelibatan aktif dari pemerintah untuk mencapai kemakmuran yang merata.