Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

by -112 Views
Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

Dengan berbagai keputusan teladannya sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang hebat dan mulia kepada generasi TNI berikutnya: Sebuah tradisi heroisme dalam bentuknya yang murni.

Beliau meninggalkan TNI sebuah landasan harga diri dan kebanggaan bagi para pemimpin TNI generasi mendatang. Karakter dan tindakan Pak Sudirman pada masa itu mencontohkan karakter dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati.

Keberanian beliau telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah yang mengutamakan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau menegaskan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada tanggal 24 Januari 1916. Beliau adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang dikelola Muhammadiyah di Solo, yang saat itu bernama Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka seharusnya memperbolehkan penduduk Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer dibentuk di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, kekuatan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa dibentuk di tingkat kabupaten, dan terdapat sekitar 60 batalyon relawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Para komandan batalyon dipilih dari para pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sebuah sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah dipilih. Ini menunjukkan bagaimana, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakter yang lurus. Para pemuda muda dengan pendidikan dan reputasi baik dipilih untuk menjadi komandan perusahaan dan peleton. Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara para komandan perusahaan adalah nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie, dan banyak nama lain yang kemudian terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini segera mengambil alih kepemimpinan batalyon mereka dan bersumpah setia kepada republik yang baru diumumkan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera melanjutkan menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak masa kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman tanpa henti mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.

Meskipun Inggris telah berencana untuk mundur, unit Sudirman terus-menerus melecehkan pasukan Inggris sehingga kepergian mereka dipercepat. Di mata pejuang kemerdekaan Indonesia, beliau pun menjadi tokoh heroik yang mewakili semangat perlawanan sengit TNI. Beliau diakui telah mendorong dan mengejar pasukan Inggris keluar dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini merupakan pukulan yang menentukan dalam memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kontrol penuh Republik Indonesia.

Setelah peristiwa di mana Sudirman meraih ketenaran dan mendapat penghormatan dari sesama komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pertama pada tanggal 5 Oktober 1945. Perwira senior Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Beliau bersumpah setia kepada TNI. Beliau dianggap sebagai tentara yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin semua batalyon di Jawa memrotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka dikomunikasikan kepada Presiden Sukarno. Untuk mempertahankan kesatuan dan perdamaian republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada tanggal 19 Desember 1948, meskipun ada kesepakatan gencatan senjata di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang kepada Pearl Harbor pada tahun 1941 atau tikaman dari belakang oleh Signor Mussolini terhadap Prancis pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara pada waktu itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan untuk membuktikan ketidak sahannya dari tindakan Belanda tersebut melalui upaya diplomatis dan politik.

Pada akhir tahun 1948, Jenderal Sudirman, Panglima TNI pertama, menderita tuberculosis parah. Kesehatannya sangat buruk, dan beliau hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat beliau dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada awal serangan mendadak Belanda. Beliau menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan invasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap berada di kota karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir seluruh anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk berperang dan memberikan perlawanan yang minim ketika pasukan Belanda yang sedang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat disimpulkan bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan kabar penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan anak buahnya meningkatkan semangat seluruh bangsa, dan TNI akhirnya berhasil mendapatkan keunggulan.

Dengan berbagai keputusan teladannya, Jenderal Sudirman telah memberikan kepada generasi TNI berikutnya warisan yang hebat dan mulia, yaitu tradisi heroisme dalam bentuknya yang murni. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan landasan harga diri dan kebanggaan bagi para pemimpin TNI generasi mendatang.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa beliau memiliki kepribadian yang kuat dan penuh keberanian, sikap tegas dan semangat pengorbanan yang tulus. Beliau sangat menyadari bahwa ada kemungkinan besar beliau bisa terluka dan tidak mendapat perawatan medis yang memadai selama perang gerilya seperti itu. Namun, beliau memilih untuk mengorbankan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakan beliau meningkatkan kepercayaan bawahan dan seluruh rakyat menghadapi serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jika, saat itu, Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu tak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati. Perbuatan heroiknya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tak kenal lelah yang mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau menegaskan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa.

Source link