LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART 2)

by -74 Views
LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART 2)

LIEUTENANT GENERAL TNI (PENSIUN) HIMAWAN SOETANTO Salah satu nilai yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan bawahannya. Seorang komandan harus berada di tengah-tengah bawahannya saat mereka bangun di pagi hari hingga saat mereka tidur. Seorang komandan harus memeriksa kondisi bawahannya, mulai dari dapur, kamar mandi hingga kualitas pakaian dalam mereka. Berkat Pak Himawan Soetanto, saya telah mengembangkan kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan bawahannya. Suatu kali, saya menemukan bahwa pakaian dalam putih para prajurit telah berubah menjadi cokelat. Saya juga mengetahui bahwa dapur merupakan sumber dari praktik korupsi terbanyak. Bayangkan saja, satu kilogram daging diberikan untuk 16 orang. Di TNI, ini dikenal sebagai ‘daging pisau cukur‘ karena dagingnya setipis pisau cukur. Sungguh tragis. Itu adalah beberapa hal yang saya pelajari dari kepemimpinan praktis Pak Himawan Soetanto.

Pertama kali saya mengenal Pak Himawan Soetanto adalah ketika saya bergabung dengan AKABRI pada tahun 1970. Pada saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur AKABRI yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pelatihan. Beliau sangat terpelajar. Beliau pandai berbahasa Inggris dan Belanda. Bahkan, beliau bisa sedikit berbicara dalam bahasa Jepang, yang telah dipelajarinya selama pendudukan Jepang di Indonesia. Beliau juga gemar membaca buku-buku sejarah. Kembali lagi, tokoh-tokoh besar yang saya kenal adalah pembaca buku yang rajin. ‘Pemimpin yang baik harus membaca dengan tekun,’ seperti pepatah terkenal yang mengatakan. Rumahnya dipenuhi dengan banyak buku. Setiap kali saya bertemu dengannya, beliau selalu mendiskusikan buku-buku dengan saya. Terkadang beliau bertanya apakah saya telah membaca buku-buku karya B. H. Liddell Hart, seorang sejarawan strategi militer asal Britania, atau Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok, dan buku-buku lainnya.

Hal lain yang mengesankan saya adalah penampilannya yang rapi. Wajahnya selalu penuh senyum. Beliau selalu ceria, tenang namun percaya diri, dan dekat dengan bawahannya. Beliau memiliki pengalaman bertempur yang panjang, dan itu terlihat dari sikapnya. Hal ini berbeda dengan beberapa orang yang tidak memiliki banyak pengalaman bertempur. Mereka cenderung dingin dan menjauh dengan bawahannya. Mereka selalu ingin patuh pada aturan. Istilah kami di TNI untuk tipe tokoh seperti ini adalah “PUD-minded” atau perwira PUD. PUD adalah akronim dari Peraturan Urusan Dalam. Sementara itu, pemimpin TNI yang terbiasa berada di tengah-tengah bawahannya di lapangan biasanya lebih santai dan fleksibel. PUD disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. Selain itu, saya ingat ada artikel dalam PUD yang mengatakan bahwa komandan satuan dapat menyesuaikan PUD sesuai dengan kondisi dari masing-masing satuan. Ini berarti bahwa seorang komandan memiliki kewenangan besar untuk menyesuaikan regulasi berdasarkan kebutuhan dan situasi. Oleh karena itu, salah satu nilai yang saya dapat dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan bawahannya. Komandan harus bersama mereka dari pagi hingga malam. Komandan harus memeriksa kondisi bawahannya, mulai dari dapur, kamar mandi, hingga pakaian dalam mereka. Belajar dari Pak Himawan Soetanto, saya memiliki kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan. Pada suatu waktu, saya pernah menemukan bahwa pakaian dalam para prajurit saya menjadi cokelat, bukan lagi putih. Saya juga mengetahui bahwa dapur telah menjadi sumber dari banyak praktik korupsi. Satu kilogram daging akan dibagi antara 16 orang! Ini menjadi terkenal di TNI sebagai ‘daging pisau cukur’, daging setipis pisau cukur. Tragis. Itu adalah beberapa masalah kepemimpinan praktis yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto. Letnan Jenderal Himawan Soetanto memiliki karier yang cemerlang. Beliau menjadi inspirasi bagi banyak orang di militer. Saya sangat dekat dengan beliau. Saya tetap dekat dengannya bahkan setelah masa pensiunnya. Beliau adalah salah satu mentori saya. Beberapa hari sebelum wafatnya, saya mengunjungi beliau di rumah sakit. Putranya mengatakan kepada saya bahwa, selain anggota keluarga dekat, beliau juga ingin bertemu dengan saya. ‘Dimana jenderal tempur?’ Anak-anaknya bingung siapa yang dimaksud dengan “jenderal tempur”. Beberapa dari mereka mencoba memastikan apakah beliau merujuk kepada Prabowo. Beliau menganggukkan kepala. Saya tersentuh mendengar cerita tersebut. Oleh karena itu, ketika saya datang untuk mengunjunginya, saya berdiri tegak dan memberi hormat kepadanya. Pada saat itu, saya telah pensiun, dan saya datang mengenakan pakaian sipil. Karena kami sering berbicara dalam bahasa Inggris, saya mengatakan padanya dalam bahasa Inggris, ‘Anda adalah jenderal sejati, Pak!’ Beliau menitikkan air mata. Pada saat itu, beliau tidak dapat berbicara lagi. Itu adalah kenangan saya tentang Pak Himawan Soetanto. Ini adalah suatu kehormatan besar bahwa seorang jenderal yang saya kagumi masih berharap untuk melihat saya di saat-saat terakhirnya.

Letnan Jenderal TNI (Pensiun) SARWO EDHIE WIBOWO Sarwo Edhie bersifat karismatik. Beliau tampan, berwibawa, selalu berpakaian rapi. Beliau dikenal sebagai sosok yang memimpin dari garis depan. Bahkan sebagai komandan Pasukan Khusus (RPKAD), beliau terlibat di lapangan. Beliau adalah idola para mahasiswa, pemuda, dan idola kami, para perwira muda dan kadet. Sebagai mentori saya di AKABRI, beliau sering berbagi pengalaman. Pada saat itu, beliau menanamkan dalam kami semangat untuk tidak menyerah, semangat patriotisme. Beliau juga sempat menulis buku yang berjudul Hidupku untuk Tanah Air dan Bangsa. Nilai itu ditanamkan dalam kami sebagai Kadet AKABRI. Patriotisme melalui cinta akan tanah air dan kebanggaan akan warisan nenek moyang kita. Itulah yang diajarkan Pak Sarwo kepada kami.

Pertama kali saya bertemu dengan Jenderal Sarwo Edhie adalah saat saya masih menjadi seorang kadet. Beliau belum menjabat sebagai Gubernur AKABRI (sekarang AKMIL), namun beliau sangat terkenal. Pak Sarwo Edhie juga adalah sahabat dekat orang tua saya. Sebelum saya secara resmi menjadi kadetnya, saya telah mendengar banyak cerita tentang Pak Sarwo dari orang tua saya, bagaimana Pak Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS) pada saat-saat kritis pada Oktober 1965 saat Terjadi Gerakan 30 September/PKI. Beliau adalah sosok yang karismatik. Beliau tampan, berwibawa, selalu berpakaian rapi. Beliau juga dikenal sebagai komandan yang memimpin operasi dari garis depan. Sebagai komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS), beliau masih terlibat di medan, sehingga beliau juga menjadi idola para kadet muda. Sebagai mentor saya di AKABRI, beliau sering menceritakan pengalamannya. Pada saat itu, beliau menanamkan dalam kami semangat ketekunan dan patriotisme. Beliau juga menulis buku dengan judul ‘Hidupku untuk Tanah Air dan Bangsa’. Nilai itu ditanamkan dalam kami sebagai kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta akan tanah air dan kebanggaan akan warisan nenek moyang kita, itulah semangat yang diwariskan Pak Sarwo Edhie kepada kami.

Setelah beliau pensiun dari dinas aktif, beliau sempat menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Untuk periode yang singkat, beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas Internasionalisasi dan Implementasi Nilai-Nilai Pancasila (BP7). Saya ingat bagaimana beliau tetap menjaga sikapnya sebagai seorang prajurit. Sebagai seorang prajurit yang terkenal dengan kejujuran dan integritasnya, beliau tidak meninggalkan banyak kekayaan saat beliau wafat. Kejadian kebetulan, dalam perjalanan hidupnya, beliau menikahkan ketiga putrinya dengan lulusan AKMIL. Yang tertua dengan Letkol Infanteri Hadi Utomo, dari angkatan kelulusan 1970; yang kedua dengan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, dari angkatan kelulusan 1973, yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia keenam; dan yang termuda dengan Letnan Jenderal TNI Erwin Sudjono, yang kemudian menjadi Panglima KOSTRAD. Saya juga mengenal ketiga perwira ini dengan baik.

JENDERAL BESAR TNI (PENSIUN) ABDUL HARIS NASUTION Saya merasa beruntung dapat memiliki kesempatan luar biasa yang tidak banyak dialami orang di negara ini. Itu untuk berbicara langsung dengan sosok kunci generasi tahun 45, sosok kunci dalam perjuangan kemerdekaan kita: Pak Nas. Saya merasa seperti menjadi seorang murid dari seorang aktor sejarah. Beliau sering berbagi pengalaman, pendapat, strategi perang gerilya, pengalaman melawan Belanda, dan banyak lagi dengan saya. Beliau juga sangat pandai dalam sejarah dan berbagai bahasa, seperti halnya tokoh-tokoh generasi tahun 45 lainnya.

Source link