LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [MAJOR GENERAL TNI (RET.) SUHARIO PADMODIWIRYO (HARIO KECIK)]

by -95 Views
LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [MAJOR GENERAL TNI (RET.) SUHARIO PADMODIWIRYO (HARIO KECIK)]

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Saya sangat terkesan dengan kehidupan Hario Kecik. Saya bercita-cita untuk mengubah kisah hidupnya menjadi film box-office suatu hari nanti, terutama peranannya dalam Pertempuran Surabaya.

Saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang pendidikan militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II.

Jenis kepercayaan diri seperti itu memungkinkan kita melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan mengubah kita menjadi bangsa. Pertempuran Surabaya mungkin adalah ujian terberat yang datang setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah Gubernur Suryo dan Bung Tomo, saya ingin bercerita tentang Hario Kecik. Setelah membaca diarynya pada tahun 2015, Memoar Hario Kecik: Otobiografi Seorang Mahasiswa Angkatan, saya sangat terkesan dengan kisah hidupnya.

Ia adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tidak paham politik namun akhirnya menjadi seorang pejuang. Ia merupakan salah satu tokoh utama dalam Pertempuran Surabaya. Ia bagian dari Tentara Pelajar Indonesia (TRIP) dan menjadi komandan Korps Mahasiswa Jawa Timur (CMDT).

Kisah Hario Kecik sangat menarik. Saya sangat mendorong setiap generasi muda Indonesia untuk membaca memoarnya. Terutama mengenai perannya sebagai seorang mahasiswa, kemudian mahasiswa kedokteran, seorang pejuang, dan akhirnya seorang perwira tinggi TNI.

Ia sempat dicurigai oleh rekan-rekannya dalam hidupnya, terutama oleh rezim Orde Baru. Mungkin karena pandangannya kiri-kiri khas; karena jiwa populisnya, terbentuk oleh pengalaman dalam perjuangan awal kemerdekaan Indonesia, terutama dalam Pertempuran 10 November di Surabaya.

Sebagai seorang pejuang muda, teman-temannya memilih Hario sebagai komandan karena ia pandai di sekolah dan lancar berbahasa Belanda dan Inggris. Ia melawan Pasukan Sekutu dalam momen-momen krusial dan menentukan, dari Oktober hingga November 1945.

Ia memimpin hanya beberapa puluh orang namun terlibat dalam peristiwa dramatis dalam Pertempuran Surabaya, yang merupakan pertempuran paling sengit dan berdarah yang pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, arek-arek Suroboyo, termasuk Hario Kecik, merebut senjata-senjata Jepang, senapan, pistol, senjata mesin, dan meriam. Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu cara menembakkan meriam-meriam tersebut. Namun, kita tahu bahwa banyak tentara Jepang yang membantu mereka. Beberapa tentara Jepang meninggalkan pasukan mereka dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan.

Mereka adalah yang membantu melatih pemuda-pemuda kita untuk menggunakan senjata-senjata seperti SMR, SMG, dan meriam-meriam. Juga, senjata-senjata anti-udara. Semua itu diceritakan dalam memoar Hario Kecik.

Pada tanggal 1 Oktober 1945, ia menulis bahwa sekelompok orang dan tentara dari BKR (Badan Keamanan Rakyat) mengepung markas Kempeitai (polisi militer Jepang) di Surabaya. Mereka bermaksud merebut senjata-senjata Jepang.

Hario menjelaskan kondisi saat itu:

Pada saat itu, saya sangat. menyadari bahwa saya bukan siapa-siapa, hanya salah satu prajurit di tengah massa yang besar dan berani. Tidak ada komandan atau pemimpin. Hanya ada keinginan untuk maju bersama untuk mengalahkan musuh. Kami semua adalah pemuda dari desa-desa. Pakaian kami menunjukkan seberapa miskinnya kami.

Setelah merebut senjata-senjata tersebut, Hario Kecik mendirikan Polisi Militer Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), pendahulu korps Polisi Militer TNI.

Peristiwa-peristiwa 10 November 1945, yang dimulai dari minggu ketiga dan keempat Oktober 1945, merupakan ujian bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Memang, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, diproklamasikan di Jakarta. Namun, Pasukan Sekutu menguji ketahanan proklamasi tersebut di Surabaya selama Pertempuran Surabaya. Mereka menguji apakah rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya proklamasi kemerdekaan tersebut.

Dalam pertempuran 10 November 1945, setidaknya sekitar 30.000 orang Indonesia tewas. Diperkirakan lebih dari 5.000 tentara Inggris tewas dan terluka.

Kita memiliki 30.000 korban utamanya karena keunggulan Pasukan Inggris dalam persenjataan modern. Inggris mengerahkan lebih dari satu divisi, yang berjumlah sekitar 35.000 orang. Mereka didukung oleh kapal induk, pesawat tempur, kapal penjelajah, dan meriam-meriam. Anda dapat membayangkan kekuatan dan kekuatan tembak unggul mereka dibandingkan dengan Indonesia, arek-arek Suroboyo.

Jika kita mempelajari sejarah peristiwa itu, kita bisa melihat bahwa semua pihak di pihak Indonesia bersatu. Pemuda-pemuda bersatu dengan rakyat biasa, tukang becak, petani. Semua bergabung. Mereka merebut senjata-senjata dari pasukan Jepang dan mengorganisir diri dalam unit perlawanan. Ada yang bergabung dalam batalyon-batalyon yang akhirnya membentuk TNI. Beberapa pasukan membentuk inti TNI pada 5 Oktober di bawah nama TRI (Tentara Republik Indonesia). Jadi, beberapa pasukan telah mengorganisir diri menjadi batalyon-batalyon resmi. Mereka adalah mantan batalyon-batalyon PETA. PETA adalah pasukan sukarela yang diorganisir oleh Jepang, singkatan dari ‘Pembela Tanah Air’.

Ada juga Polisi Negara Republik Indonesia. Ada juga barisan-bariansa pemuda dari berbagai komunitas. Beberapa terdiri dari siswa madrasah dari Surabaya dan dari seluruh Jawa Timur. Ada juga kelompok yang terdiri dari para mahasiswa, termasuk Hario Kecik dan rekannya. Sangat menarik untuk mempelajari dinamika kelompok-kelompok waktu itu.

Kembali kepada Hario, saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II. Dalam memoarnya, menjelang serangan 10 November, Hario menulis:

Kami sudah siap menghadapi apapun yang musuh hadirkan. Kami bukan ahli militer atau prajurit profesional. Kami hanya ingin tetap bebas.

Kami mengambil keputusan-keputusan yang disebutkan sebelumnya dan ketetapan hati dalam suasana yang sulit untuk dijelaskan. Saya tidak bisa dengan mudah menjelaskan ketegangan, optimisme, semangat, semangat, kemarahan murni dalam hati para pemuda yang berkumpul di tempat hanya dengan kata-kata.

Pada saat itu, saya juga terbawa oleh suasana. Semuanya dimulai ketika saya bersama para pemuda, menggalian parit pertahanan di halaman markas kami di Pasar Besar, ketika kami mendengar kapal-kapal perang Inggris tiba di perairan Tanjung Perak [pelabuhan Surabaya].

Akalku, atau tepatnya, pikiranku ‘intellectual’, berkata bahwa markas kami sulit untuk dipertahankan dari serangan musuh karena lokasinya, benteng yang lemah, dan faktor-faktor lainnya. Namun, para pemuda bertekad untuk membela markas hingga kelelahan.

Akhirnya, setelah akalku ‘intellectual’ menyerah pada ’emosi’ atau ‘semangat’ku, saya setuju dengan mereka. Kami hanya punya beberapa jam untuk mempersiapkan diri.

Malam itu kami tidak membahas garis-garis komando, logistik, dll. Kami sudah siap, dan tidak ada di antara kami yang meragukan.

Kami memadukan strategi-strategi yang rumit menjadi satu motto: Merdeka atau mati. Tidak ada yang menyoal kekuatan musuh, dan tak seorang pun menyelidiki kekuatan kita. Mungkin secara tidak sadar, kami semua dengan cepat memutuskan bahwa sudah terlambat untuk khawatir tentang itu. Kami harus melawan musuh besok juga.

Membaca memoar ini membuat saya merinding. Begitulah semangat yang memungkinkan kita untuk membela kemerdekaan kita. Begitulah semangat yang memungkinkan kita melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan menyatukan kita menjadi bangsa. Mungkin itu adalah ujian pascakemerdekaan yang paling berat.

Saya selalu membayangkan bagaimana rasanya jika saya bisa berada di Surabaya saat itu. Apakah saya akan seberani Hario Kecik? Apakah saya akan sebersemangat Hario Kecik dan teman-temannya? Itu adalah beberapa pertanyaan yang selalu saya tanyakan pada diri sendiri.

Oleh karena itu, setiap kali saya memberikan ceramah atau melatih generasi muda, saya selalu menggunakan Hario Kecik sebagai ikon pemuda Indonesia teladan.

Pahlawanisme yang dipersonifikasikan oleh Hario Kecik sangat jelas. Ia memberikan contoh bagi generasi berikutnya, contoh bagi setiap orang Indonesia.

Source link