Kontroversi seputar status kemitraan mitra pengemudi dan tuntutan untuk mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan aplikasi transportasi daring terus menjadi perbincangan di berbagai media Indonesia. dengan meningkatnya ekonomi digital, muncul pertanyaan apakah mitra pengemudi seharusnya dianggap sebagai pekerja atau tetap sebagai mitra sesuai dengan skema yang berlaku saat ini. Pendapat para ahli menunjukkan bahwa pemaksaan perubahan status kemitraan tanpa dukungan sistem di dalamnya dapat membahayakan industri ride-hailing dan ekosistem investasi, serta menghambat pertumbuhan ekonomi digital. Di sisi lain, tuntutan THR untuk mitra pengemudi ride-hailing juga menimbulkan dampak negatif bagi sektor lain yang bergantung pada layanan tersebut, seperti UMKM, pariwisata, dan logistik. Meskipun pemerintah mengakui bahwa mitra pengemudi bukan pekerja berdasarkan regulasi yang ada, namun ada dorongan untuk memperlakukan mereka seperti pekerja dalam aspek tertentu. Selain itu, tuntutan populis untuk memberikan THR kepada mitra platform digital terlihat kontradiktif dengan regulasi yang ada. Diperlukan kajian mendalam dan konsistensi dari pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang mendukung kesejahteraan mitra pengemudi tanpa merusak ekosistem dan kontraproduktif. Selain itu, perlu kerja sama antara semua pemangku kepentingan untuk menyelesaikan masalah ini tanpa menciptakan masalah baru pada industri ride-hailing dan ekonomi digital di Indonesia. Sudah saatnya pemerintah bersikap konsisten dan visioner dalam menciptakan regulasi yang mendukung ekosistem kerja digital tanpa mengorbankan fleksibilitas yang menjadi daya tarik industri tersebut, tetapi tetap memberikan perlindungan kepada “pekerja gig” di dalamnya.
Kontroversi THR Ojek Online: Pendapat Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan UGM
