Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menuai kritik dan penentangan dari beberapa pihak terkait rencananya mengirim para pelajar ‘nakal’ ke barak militer. Dedi mengklaim ini sebagai metode untuk membina siswa yang terlibat dalam pergaulan bebas dan aktivitas kriminal di wilayah yang dianggap rawan. Peserta program akan mengikuti program khusus selama enam bulan di sekitar 30 hingga 40 barak yang telah dipersiapkan oleh TNI, dipilih melalui kesepakatan antara sekolah dan orang tua.
Edi Subkhan, Direktur Pusat Kajian Kurikulum Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, menentang keras rencana tersebut. Menurutnya, hal ini berpotensi menciptakan segregasi dalam dunia pendidikan dan menciptakan persepsi negatif terhadap sekolah dan tenaga pendidik. Edi menilai bahwa anak-anak yang ‘nakal’ memerlukan pendekatan yang berbeda berdasarkan karakteristik masing-masing, bukan pendekatan militer.
Mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Suyanto, juga menolak kebijakan tersebut dengan alasan bahwa tentara seharusnya fokus pada tugas pertahanan dan keamanan negara. Dia menekankan bahwa guru dan tenaga pendidik sudah memiliki mekanisme untuk mengatasi perilaku ‘nakal’ melalui Bimbingan Konseling atau sistem reward and punishment. Namun, perlindungan hukum dan profesi yang kurang membuat banyak guru enggan melibatkan diri dalam proses pendidikan.
Dedi Mulyadi menyatakan program pembinaan siswa ‘nakal’ akan dilaksanakan pada Mei 2025, dengan setiap siswa menjalani program selama enam bulan. Program ini didukung oleh beberapa pemerintah kabupaten dan kota di Jawa Barat, dengan sarana prasarana yang disiapkan oleh TNI. Dedi menekankan bahwa program ini didasari oleh keberadaan geng motor yang meresahkan, di mana pelajar ikut terlibat dalam kelompok tersebut. Hingga saat ini, biaya program ini akan didukung oleh Pemprov Jawa Barat dan pemerintah kabupaten/kota yang terlibat.