Menjadikan Kemandirian Antariksa sebagai Gerakan Nasional

by -17 Views

Kemandirian Antariksa Indonesia

Pesatnya kemajuan teknologi global, yang dipicu oleh privatisasi dan persaingan geopolitik yang semakin intensif di bidang antariksa, menuntut Indonesia untuk merumuskan strategi nasional yang berfokus pada kemandirian antariksa. Dalam sebuah forum diskusi berjudul “Mewujudkan Kemandirian Antariksa Indonesia di Tengah Persaingan Global” yang diadakan oleh Center for International Relations Studies (CIReS), Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), para pemangku kepentingan dari berbagai sektor menyoroti kompleksitas dan urgensi agenda antariksa nasional dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Diskusi ini dihadiri oleh sekitar 300 peserta, termasuk dari parlemen, kementerian dan lembaga pemerintah, militer, asosiasi profesi, akademisi, dan media.

Diskusi tersebut, yang diadakan di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI Depok, dimulai dengan pembukaan oleh Prof. Semiarto Aji Sumiarto, Dekan FISIP Universitas Indonesia, yang menekankan bahwa kemandirian antariksa bukanlah lagi sebuah pilihan, tetapi suatu keharusan strategis untuk menjaga kedaulatan Indonesia di tengah persaingan antariksa yang semakin ketat.

Vahd Nabyl Achmad Mulachela, S.IP., M.A., Plt. Kepala Pusat Strategi Kebijakan Multilateral di Kementerian Luar Negeri RI, memandu diskusi dengan membuka dengan paparan kunci dari Prof. Thomas Djamaluddin. Prof. Thomas menegaskan bahwa behemanya teknologi antariksa adalah syarat mutlak untuk kedaulatan dan daya saing bangsa di masa depan. Indonesia, yang telah memulai eksplorasi keantariksaan sejak 1960-an dan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang berhasil meluncurkan satelit secara mandiri, kini menghadapi tantangan besar seperti lemahnya pengelolaan program antariksa, keterbatasan pendanaan, dan kurangnya arah kebijakan yang jelas setelah integrasi LAPAN ke dalam BRIN. Meskipun telah mendapat pengakuan internasional, Indonesia masih dianggap sebagai “negara baru yang sedang berkembang di bidang antariksa” dan berisiko tertinggal jika tidak segera mengambil langkah-langkah strategis. Menurutnya, teknologi antariksa akan menjadi salah satu pilar utama ekonomi global di masa depan.

Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim menegaskan bahwa ruang antariksa sekarang menjadi domain strategis yang sangat penting, dengan dampak langsung pada pertahanan, ekonomi, dan kedaulatan nasional. Di tengah persaingan global dan peningkatan militerisasi di orbit, Indonesia tidak bisa lagi menjadi pengguna pasif. Ia mengusulkan revitalisasi Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional untuk menjadi dewan lintas sektor yang melibatkan berbagai kementerian, TNI AU, BRIN, serta unsur swasta dan akademisi. “Saatnya berpikir secara strategis dan bertindak secara terpadu,” tegasnya.

Dari sudut pandang Asosiasi Antariksa Indonesia, Anggarini S., M.B.A., menyampaikan perhatiannya terhadap ketergantungan Indonesia pada negara lain untuk akses data, teknologi, dan peluncuran satelit. Untuk itu, Indonesia perlu membangun ekosistem antariksa nasional secara menyeluruh, dan mengejar konstelasi satelit LEO sebagai penopang ekonomi antariksa. Ia juga menyerukan transfer teknologi melalui kemitraan internasional, dukungan pada start-up lokal, dan konsistensi dalam regulasi antar-lembaga sebagai dasar menuju Indonesia Emas 2045.

Dr. Dave Laksono dari Komisi I DPR RI menyatakan bahwa Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar untuk layanan antariksa asing, tetapi harus membangun kapasitas teknologi, SDM, dan regulasi yang independen. Dave menekankan bahwa antariksa adalah pilar strategis bagi ketahanan nasional dalam membangun pertahanan adaptif dan keamanan digital yang aman. Sebagai langkah awal, DPR RI telah mendorong RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional untuk memperkuat kedaulatan vertikal negara. Ia juga menyoroti pentingnya kelembagaan yang terintegrasi, peningkatan investasi dalam R&D, serta kerja sama internasional dan eksplorasi antariksa berkelanjutan yang mendukung kepentingan nasional jangka panjang.

Yusuf Suryanto, S.T., M.Sc., Direktur Transmisi, Ketenagalistrikan, Kedirgantaraan, dan Antariksa Kedeputian Bidang Infrastruktur di Kementerian PPN/Bappenas, menekankan bahwa kemandirian antariksa tidak dapat dicapai hanya dengan visi teknologi, tetapi juga memerlukan kerangka pembiayaan yang kuat, lembaga yang adaptif, dan strategi lintas sektor yang konsisten. Meskipun Indonesia berada di lokasi geografis yang strategis, investasi dalam bidang antariksa masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Untuk itu, kerangka RPJPN 2025-2045 mencakup antariksa sebagai proyek strategis nasional, tetapi implementasinya membutuhkan kolaborasi lintas sektor, koordinasi pembangunan yang terpadu, dan kebijakan fiskal yang jelas. Tanpa itu, Indonesia akan terus tertinggal dalam persaingan ekonomi antariksa global.

Prof. Dr. Fredy B.L. Tobing, Guru Besar FISIP UI, menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh terjebak menjadi negara kelas dua yang hanya memiliki wacana dan visi antariksa, tetapi tidak memiliki kapasitas teknologi dan peluncuran yang nyata. Di tengah munculnya banyak aktor bisnis dan negara besar yang telah membentuk kekuatan militer khusus untuk antariksa, Indonesia harus segera menegaskan agenda nasionalnya. Ia menyoroti perlunya antariksa menjadi bagian dari diplomasi luar negeri dan kerja sama internasional Indonesia, terutama dalam memperkuat norma damai, transfer teknologi, dan pemanfaatan antariksa sebagai milik bersama umat manusia.

Sebagai penutup, Asra Virgianita, Ph.D., Wakil Direktur CIReS FISIP UI, menyampaikan perspektif kritis yang menekankan kesenjangan dalam akses dan dominasi negara maju serta korporasi dalam ekonomi antariksa telah menciptakan bentuk kolonialisme baru dan penindasan yang mendalam, tidak hanya di daratan tetapi juga di luar angkasa. Tanpa campur tangan negara yang berpihak pada pembangunan nasional yang adil dan bermakna untuk seluruh kelompok masyarakat, Indonesia hanya akan menjadi konsumen dan dieksploitasi dalam sistem yang dirancang untuk menjaga ketidaksetaraan global. Ia menekankan perlunya kebijakan antariksa yang responsif terhadap kesenjangan global, mendukung Global South, dan mendorong kerja sama strategis antara negara-negara Global South.

Beberapa peserta diskusi juga mengkritik kurangnya dukungan politik dari pemerintah dan kejelasan dalam arah kelembagaan, meskipun UU telah menyebutkan pembentukan Badan Antariksa sejak 2013. Mereka mengekspresikan kekecewaan terhadap ketidak konsistenan kebijakan anggaran untuk pengembangan sektor antariksa.

Dr. Dave Laksono mengakui bahwa kemauan politik pemerintah dan pemahaman publik tentang pentingnya antariksa masih rendah, terkalahkan oleh sektor yang langsung berdampak seperti pendidikan dan kesehatan. Pengembangan sektor antariksa juga membutuhkan biaya, teknologi, dan risiko yang tinggi. Hal ini juga ditegaskan oleh Arif Nur Hakim, Kepala Pusat Riset Teknologi Roket, BRIN, yang menyatakan bahwa pembangunan bandar antariksa mengandung risiko yang besar dan kapasitas Indonesia saat ini belum siap sepenuhnya.

Hasil diskusi ini menekankan pentingnya Indonesia untuk segera merancang strategi terpadu dalam mencapai kemandirian antariksa. Langkah pertama dapat dimulai dari penataan kelembagaan, regulasi, investasi, kolaborasi lintas sektor, serta peninjauan kembali strategi dan roadmap industri antariksa. Revitalisasi lembaga yang pernah berperan penting dalam pengembangan teknologi antariksa nasional harus diprioritaskan.

Sumber: Strategi Kemandirian Antariksa Indonesia Dan Peran RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional Di Tengah Rivalitas Global
Sumber: Mewujudkan Kemandirian Antariksa Indonesia Di Tengah Rivalitas Global