Dunia pertahanan Indonesia kembali menjadi sorotan tajam oleh media internasional karena langkah pemerintah dalam menentukan arah modernisasi kekuatan udara TNI AU yang kini berada di persimpangan yang rumit. Di satu sisi, Indonesia berpeluang mendapatkan jet tempur paling mematikan buatan Amerika Serikat, Boeing F-15EX Eagle II, yang sudah diakui di dunia. Namun, Indonesia masih terikat komitmen pada proyek bersama Korea Selatan, yaitu pengembangan jet tempur generasi 4.5 KF-21 Boramae. Dilema ini tidak hanya mengenai pemilihan pesawat tempur, tetapi juga menyangkut masa depan kemandirian industri pertahanan Indonesia.
Media pertahanan luar negeri menggambarkan keputusan ini sebagai langkah yang “membingungkan” tetapi sekaligus strategis. Seperti yang ditulis Asian Military Review, Indonesia telah menunjukkan pendekatan yang membingungkan dalam akuisisi pesawat tempurnya, dengan memproses pembelian Rafale dari Prancis, menunda F-15EX dari Amerika, dan tetap mempertahankan komitmen pada KF-21 Boramae. Drama di balik layar yang membuat masa depan kekuatan udara Indonesia berada di ujung tanduk dibahas lebih lanjut.
Ketertarikan Indonesia pada jet tempur Boeing F-15EX bukanlah cerita bohong. Program ini sudah lama menjadi sorotan internasional dan melibatkan persetujuan langsung dari pemerintah Amerika Serikat. Pada Februari 2022, Departemen Luar Negeri AS menyetujui kemungkinan penjualan hingga 36 unit F-15IDN kepada Indonesia. Paket ini bernilai sekitar US$13,9 miliar atau lebih dari Rp200 triliun. Penjualan mencakup pesawat, mesin, senjata, dan dukungan logistik, menunjukkan bagaimana Washington menilai Jakarta sebagai mitra strategis penting di kawasan Indo-Pasifik.
Pada Agustus 2023, Kementerian Pertahanan RI dan Boeing sudah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk akuisisi 24 unit F-15EX. Namun, sampai saat ini kontrak pembelian final belum ditandatangani, menimbulkan spekulasi bahwa ada faktor politik dan komitmen lain yang menahan proses. Dalam wawancara dengan Janes, media pertahanan terkemuka, Clara Logsdon, pejabat senior Boeing, menyatakan keyakinan bahwa kesepakatan F-15EX akan terwujud dan bahwa minat Indonesia terhadap F-15EX sangat jelas.
Di balik ketertarikan pada F-15EX, Indonesia juga masih terikat proyek besar dengan Korea Selatan, yaitu KF-21 Boramae. Proyek ini sejak awal diposisikan bukan hanya soal membeli jet tempur, melainkan juga transfer teknologi. Dalam kesepakatan awal, Indonesia menyanggupi menanggung 20 persen biaya proyek KF-21 yang totalnya mencapai sekitar Rp100 triliun. Keputusan Indonesia dalam mengelola program jet tempurnya dipandang unik oleh analis militer luar negeri, mencerminkan upaya menjaga hubungan geopolitik yang rumit.
Masa depan Angkatan Udara Republik Indonesia ditentukan oleh pilihan sulit antara jalan pragmatis atau idealis. Jika memilih F-15EX, Indonesia akan langsung mendapat superioritas udara dengan teknologi teruji. Namun, bila tetap pada KF-21, Indonesia akan memiliki kesempatan membangun kemandirian industri meski dengan konsekuensi panjang. Keputusan ini tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis militer, tetapi juga geopolitik, dengan pembelian F-15EX dapat mempererat hubungan dengan AS, sementara tetap berkomitmen pada KF-21 menjaga kedekatan dengan Korea Selatan.