Pada suatu saat yang lalu, seorang bijak pernah mengatakan bahwa seorang guru sejati seharusnya bangga melihat muridnya melampaui dirinya. Seorang guru sejati akan memastikan bahwa murid-muridnya dan anak buahnya lebih sukses daripada dirinya. Seorang guru sejati tidak ragu untuk membimbing murid-muridnya agar mereka mencapai potensi penuh mereka dan meraih pangkat tertinggi demi kepentingan bangsa dan negara.
MIRID JENDERAL TNI (PURN.) KEMAL IDRIS
Saat saya berusia 17 tahun, saya kembali ke Indonesia dari Eropa. Saat itu, Pak Kemal Idris sudah merupakan sosok TNI yang sangat terkenal. Pada masa itu, ia dikenal sebagai salah satu tokoh penting rezim Orde Baru di awal pemerintahan Presiden Suharto. Pak Kemal Idris juga merupakan teman dari paman saya, yang meninggal dalam Pertempuran Lengkong. Ketika bertemu dengannya, Pak Kemal Idris berkata padaku: ‘Aku adalah sahabat terbaik dari pamanmu. Pamanmu adalah seorang pria yang sangat berani. Jika pamanmu masih hidup hari ini, aku yakin dia akan menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Kamu harus mengikuti jejak pamanmu, Subianto. Dia adalah seorang pahlawan.’ Saya masih ingat kata-katanya. Setelah saya lebih mengenal sejarah hidup Pak Kemal Idris, saya paham bahwa ia adalah orang yang sangat patriotik, berani, lurus, dan terbuka. Batalyon Kemal Idris merupakan batalyon TNI pertama yang memasuki ibu kota setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia.
Pada 17 Oktober 1952, Batalyon Kemal Idris terlibat dalam pengepungan Istana. Pak Kemal Idris adalah seorang yang berani, sangat pro-rakyat, dan nasionalis teguh. Ia sangat membenci korupsi sehingga bahkan dengan berani mengkritik atasannya, sehingga sering kali dianggap sebagai “anak nakal”. Namun, para atasannya selalu memakluminya karena keberanian dan kemampuannya memimpin pasukannya melawan Belanda. Kemal Idris melawan pemberontak selama tahun 1950-an dan 1965. Setelah pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, ia menjadi sahabat dekat Pak Harto dalam Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) sebagai Wakil Kepala Staf. Setelah Pak Harto dipromosikan, Pak Kemal Idris menggantikan Pak Harto sebagai Pangkostrad.
Kualitas dari Pak Kemal Idris yang saya ingat dan kagumi adalah sikapnya terbuka, ramah, dan humoris. Ia selalu jujur dan berpihak kepada kaum tidak mampu. Namun Pak Kemal Idris juga memiliki kekurangan. Ia adalah orang yang emosional dan kerap membuat keputusan dan kesimpulan dengan terburu-buru sebelum benar-benar memahami situasi dengan baik. Kadang-kadang, sifat ini membuatnya terjerumus dalam masalah nyata. Selama hidupnya, ia sering memberi saya nasihat. Setiap kali bertemu dengannya, ia selalu berbagi pengalaman dan kebijaksanaan. Sesaat sebelum ajalnya, ADC-nya memberitahu saya bahwa ia sangat sakit, sehingga saya mengunjunginya di RS Abdi Waluyo di Menteng, Jakarta. Di atas pembaringannya, ia berbisik padaku, ‘Prabowo, teruslah berjuang.’ Kata-kata terakhirnya padaku, ‘Jaga republik ini, terimakasih.’ Saya memberi hormat padanya, dan air mata pun mulai mengalir di wajahku. Itu adalah momen yang penuh emosi. Pada saat itu, saya sudah diberhentikan sebagai Pangkostrad. Saya bisa merasakan getaran jiwa beliau ketika mengalami momen terakhir hidupnya.
MIRID JENDERAL TNI (PURN.) HARTONO REKSO DHARSONO
Selama Orde Baru, Pak Ton adalah salah satu sahabat paling kuat Pak Harto. Ia berani menegur Pak Harto, mengkritik, dan mendorongnya untuk mendemokratisasi Indonesia. Ia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik atasannya dan para rekan-rekannya. Ia sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan prajurit. Ia sering mengenakan beret Kujang. Ia muncul sebagai sosok pahlawan idol di mata masyarakat, pemuda Jawa Barat, dan gerakan mahasiswa di ibu kota Jakarta.
Selama Orde Baru, Pak Ton adalah salah satu pendukung terkuat Pak Harto. Ia berani menegur Pak Harto, mengkritik Pak Harto, dan mendorong Pak Harto untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis. Ia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik atasannya serta sesama patriotis. Sebagai akibatnya, ia dituduh mempercayai tindakan teror dan singkatnya dipenjara. Ketika itu, saya masih menjadi perwira junior. Saya merasa khawatir karena saya tahu bahwa ia difitnah dan dicap oleh kelompok di TNI yang tidak menyukainya. Saat itu, saya masih Letnan Satu. Saat saya melakukan pelatihan dasar di Bandung, saya mengunjunginya dan bertemu keluarganya. Kemudian saat saya menjadi Kapten, saya menjadi Wakil Komandan Detasemen 81. Pada saat itu, saya bertanggung jawab dalam membangun markas Detasemen 81 di Jakarta dan memilih kontraktor dan subkontraktornya. Saya mendengar bahwa beberapa individu muda dari Bandung mendirikan perusahaan furnitur dan mendaftar sebagai subkontraktor interior untuk markas tersebut. Saya tidak ragu untuk menunjuk perusahaan tersebut. Kemudian saya ditegur oleh salah satu atasan saya, yang berkata, ‘Di antara mahasiswa ITB yang mendirikan perusahaan…’