GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

by -154 Views
GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

Pak Harto adalah seseorang yang rajin, disiplin, dan sangat teliti. Saya menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Beliau bangun sangat pagi setiap hari. Setiap hari beliau tiba di kantor pada pukul 08:00 pagi tepat. Ciri khasnya adalah tulisan rapi dan ingatan kuat, juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Beliau juga sangat jago dalam berhitung dan gemar membaca. Oleh sebab itu, Pak Harto sangat mendorong orang-orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan di luar negeri, meskipun beliau sendiri tidak pernah berpendidikan di luar negeri. Beliau selalu tersenyum. Jarang marah atau terlihat marah. Ketika marah, beliau akan diam. Dan beliau tidak suka berbicara dengan orang yang marah. Inilah beberapa kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Pada saat itu, saya seorang kapten dan telah melakukan operasi di Timor Timur dua kali. Yang pertama pada tahun 1976 ketika saya menjadi Komandan Peleton Kelompok 1 KOPASSANDHA (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Yang kedua adalah pada tahun 1978, ketika saya menjadi Komandan Kompi Para-Komando dengan kode Chandraca 8. Pasukan saya kala itu adalah kompi pasukan penyerang yang langsung di bawah pimpinan komandan sektor. Pertama saya di bawah Komandan Sektor Timur Infanteri Kolonel R.K. Sembiring Meliala. Kemudian saya di bawah Komandan Sektor Pusat Infanteri Letnan Kolonel Sahala Rajagukguk. Pada saat itu, Infanteri Kolonel Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur 18 (RTP 18) dengan Brigif Linud 18 sebagai intinya. Sementara Infanteri Letnan Kolonel Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur 6 (RTP 6) dengan Brigif Infanteri 6 sebagai intinya. Pak Harto adalah orang yang rajin, disiplin, tepat waktu, dan sangat teliti. Saya berkesempatan melihat kehidupan sehari-harinya. Beliau bangun sangat pagi setiap hari. Beliau tiba di kantor pada pukul 08:00 pagi tepat. Pada pukul 01:00 siang, beliau akan pulang untuk makan siang. Pada sore hari, beliau bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pada pukul 19:00 dari Senin hingga Jumat, beliau menerima tamu. Beliau akan makan malam pada pukul 21:00. Kemudian pada pukul 21:35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita di TVRI selesai, beliau masuk ke ruang studi. Ruang studinya sangat kecil. Meja kerjanya juga sangat kecil. Memang, jika kita membandingkannya dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumahnya relatif lebih kecil. Kamar tidurnya tidak terhubung dengan kamar mandi. Oleh karena itu, ruang studinya sangat kecil. Setiap malam, ada tumpukan folder di mejanya yang bisa mencapai tinggi 40-50 sentimeter. Saya mendengar dari para ajudannya bahwa setidaknya ada 40 folder dan surat yang dibaca dan ditandatangani setiap malam dari Minggu hingga Jumat. Hanya pada Sabtu malam bahwa beliau tidak akan ditemukan di atas meja kerjanya. Saya sering melihat beliau bekerja sampai pukul 01:00 atau bahkan 02:00 pagi. Sementara itu, beliau akan bangun pada pukul 04:30 pagi atau paling lambat pukul 05:00. Kadang-kadang beliau hanya mendapatkan 3-4 jam tidur. Hal ini berlangsung selama puluhan tahun. Kita hanya bisa membayangkan seberapa rajin dan telitinya beliau. Kualitas unik lainnya adalah tulisan rapi dan ingatan fotografinya. Beliau juga sangat jago dalam berhitung. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja dilantik menjadi Komandan Batalyon Infanteri 328/KOSTRAD, saya pergi menemui beliau. Ketika itu beliau menceritakan kepada saya dengan panjang lebar dan detail pengalaman beliau dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun batalyon tempur. Beliau menceritakan pengalamannya sebagai Pemimpin Regu, Komandan Peleton, Komandan Kompi, Staf Operasi Batalyon, dan banyak lagi. Beliau berbagi banyak teknik dan praktik praktis serta masalah-masalah yang sangat spesifik. Bahkan beliau dapat mengingat tingkat pendidikan dari setiap bawahannya dahulu. Saya terkejut mendengar ceritanya. Ketika itu sudah 17 tahun sejak beliau meninggalkan Angkatan Darat dan 35 tahun setelah tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengendalikan agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat terbang, pabrik kereta api hingga masalah politik luar negeri, dan yang tidak lagi memimpin batalion-batalionnya selama puluhan tahun, masih dengan jelas mengingat pembentukan, rekrutmen, dan pelatihan unit-unit militer di tingkat regu, peleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran yang beliau bagikan kepada saya saat saya menjadi Komandan Batalyon 328. Hal itu membuat Batalyon 328 menjadi sangat handal dan diakui oleh banyak sebagai salah satu batalyon paling tajam selama bertahun-tahun. Ciri khas lainnya adalah bahwa beliau sangat memahami filsafat Jawa dan sejarah Nusantara. Pak Harto sering mengartikulasikan kepemimpinannya dengan ajaran-ajaran kuno dan filsafat Jawa. Hal ini wajar karena seluruh pendidikannya berlangsung di Indonesia, di kampung halamannya di Desa Kemusuk, Yogyakarta. Sebagian besar bacaannya berasal dari para ahli Jawa dari abad-abad sebelumnya. Filsafat yang sering beliau ajarkan adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; disamping ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang beliau terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat bermanfaat. Ini adalah kumpulan aforisma, ajaran, dan pepatah. Buku beliau sangat penting untuk memahami psikologi Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat mempengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran ini bukan semata-mata slogan. Bagi banyak orang, ajaran-ajaran ini menjadi panduan untuk hidup yang sukses, panduan untuk keberadaan yang bahagia di dunia ini. Ini juga menjadi panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, mereka menjadi suara-tentara hikmat yang dibawa selama berabad-abad. Oleh karena itu, seseorang yang mengikuti ajaran-ajaran ini memanfaatkan kebijaksanaan leluhur kita, leluhur dan tetua kita. Saya ingin mengingat salah satu peristiwa ketika Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk menjalankan operasi di Timor Timur. Satu malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke tempat tinggalnya di Jalan Cendana. Saya memberitahu bawahan saya bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka senang. Ini sudah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima Tertinggi memanggil seseorang sebelum mereka menjalankan misi, Pak Harto akan memberikan sangu atau bantuan keuangan khusus. Dana ini bisa digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 8:30 malam. Setelah menerima tamu, beliau menemui saya dan bertanya apakah benar bahwa saya akan menjalankan operasi esok hari. Saya menjawab dengan ya. Kemudian beliau memberi tahu saya, ‘Saya hanya punya tiga nasehat untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Simpanlah di hatimu!’ Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto dengan lembut meletakkan tangannya di atas kepala saya sebagai tanda berkat, seperti yang selalu beliau lakukan kepada anak-anaknya, cucu-cucunya, dan orang-orang yang beliau cintai, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kami sebut ruang Yudha, ruang perang. Mereka menunggu kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya memberitahukan kepada mereka bahwa saya hanya bertemu Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat tersebut, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga mengatakan kepada mereka bahwa, untuk sesaat, saya juga terkejut dan agak kecewa. Karena alih-alih menerima dana, saya hanya diberikan tiga nasehat. Namun, selama perjalanan selama satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya merenungkan tentang tiga nasehat yang diberikan oleh seorang Panglima yang tumbuh dalam operasi tempur. Pak Harto adalah inisiator dan pelaksana Serangan Umum 1 Maret yang berhasil merebut kembali kontrol atas Yogyakarta selama enam jam pada akhir 1948. Bahkan, saat itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Beliau juga terlibat dalam berbagai operasi penindasan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Beliau juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Beliau juga adalah tokoh kunci dalam menumpas pemberontakan G30S/PKI komunis pada tahun 1965. Sebagai Panglima Tertinggi dengan pengalaman pertempuran yang luas, nasehat Pak Harto tentu harus memiliki makna yang sangat dalam. Pertama, ojo…

Source link