Reformasi Polri harus dilakukan dengan kontrol kelembagaan dan pembatasan kewenangan mutlak untuk mencegah abuse of power dalam sektor pengakan hukum. Peneliti Prolog Initiatives, Rahman Azhar, menyatakan bahwa Polri berada di persimpangan krusial dalam sejarah reformasinya. Gelombang kritik tajam dari berbagai pihak atas penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota Polri menjadi indikasi perlunya perubahan dalam tata kelola lembaga tersebut. Faktor seperti keberadaan Polri di bawah Presiden dan perluasan kewenangan yang diusulkan dalam RUU Polri merupakan ancaman terhadap reformasi Polri.
Rahman menyoroti urgensi untuk merombak total tata kelola lembaga Polri guna memastikan reformasi di Korps Bhayangkara berjalan dengan baik. Beberapa kasus penyalahgunaan kekuasaan di Polri menjadi indikator kegagalan sistemik reformasi Polri. Pembagian wewenang penegakan hukum perlu diperkuat agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan dalam satu lembaga. Lebih lanjut, perluasan kewenangan Polri harus dikritisi secara ketat agar tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Untuk mewujudkan reformasi Polri, Prolog Initiatives menyampaikan empat rekomendasi. Pertama, penempatan Polri di bawah kementerian sipil untuk memastikan akuntabilitas dan pengawasan demokratis. Kedua, fokus kewenangan Polri pada keamanan dan ketertiban masyarakat. Ketiga, jelasnya pembagian fungsi penegakan hukum antarlembaga agar tidak ada konsentrasi kekuasaan. Keempat, kritisi RUU Polri secara ketat agar tidak melampaui prinsip-prinsip checks and balances dalam demokrasi.
Reformasi struktural Polri sangat penting untuk mencegah abuse of power dan membangun demokrasi yang sehat. Kekuasaan, termasuk kepolisian, harus tunduk pada otoritas sipil dalam sistem yang transparan, akuntabel, dan berbasis hukum. Dengan demikian, reformasi Polri perlu difokuskan pada perubahan struktur kelembagaan dengan menempatkan Polri di bawah kementerian sipil sebagai salah satu langkah penting untuk memperkuat akuntabilitas dan legitimasi publik.