Ketua MPR, Ahmad Muzani, menegaskan bahwa amendemen UUD 1945 bukanlah solusi instan untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi. Proses amendemen harus melalui tahap panjang dan transparan, serta melibatkan partisipasi penuh dari masyarakat. Muzani menekankan pentingnya konsensus luas dalam melakukan perubahan konstitusi, sehingga tidak boleh didasarkan pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Amendemen konstitusi harus mencerminkan kesepakatan dari seluruh elemen bangsa, bukan hanya dari segelintir orang.
MPR sebagai lembaga tertinggi harus tetap relevan dan menjadi pedoman bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, diperlukan kajian objektif dan mendalam terhadap sistem ketatanegaraan, termasuk evaluasi terhadap efektivitas sistem presidensil yang ada saat ini. Sejak berdirinya Indonesia, UUD 1945 telah mengalami empat kali amendemen, dengan amendemen terakhir dilakukan pada tahun 2002. Meskipun beberapa kali muncul wacana tentang amendemen kelima, namun keputusan tersebut sering kali terkait dengan agenda politik.
Pada tahun 2021, Ketua MPR sebelumnya, Bambang Soesatyo, mengusulkan amendemen konstitusi dengan menambahkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Wacana ini disorot karena berkaitan dengan perpanjangan masa jabatan presiden, dimana Presiden Jokowi telah menghabiskan setengah periode kedua masa jabatannya. Konstitusi saat ini membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode dengan masing-masing periode lima tahun. Sehingga, amendemen konstitusi perlu dijaga agar tetap relevan dan sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia.