DPR vs MK: Kasus Aswanto dan Persaingan Kekuasaan

by -54 Views

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah harus dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan. Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden, sementara pemilu daerah mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota, kepala dan wakil kepala daerah. Keputusan ini menuai pro dan kontra, terutama dari pihak DPR yang meradang atas keputusan tersebut.

Salah satu yang menilai penyelewengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah Ketua DPR, Puan Maharani. Menurutnya, semua partai politik sepakat bahwa pemilu seharusnya dilakukan sekali dalam lima tahun. Hal ini memicu ketegangan antara DPR dan MK, dengan DPR menganggap keputusan MK tidak sesuai dengan konstitusi. Namun, ada pandangan lain dari Herdiansyah Hamzah, seorang dosen hukum tata negara, yang melihat kondisi politik saat ini menunjukkan adanya perlawanan dari DPR terhadap putusan MK.

Dalam konteks sejarah pemilu di Indonesia, Castro merujuk pada pemilu tahun 1977 dan 1999 untuk menunjukkan bahwa perpanjangan masa jabatan anggota DPRD bukan hal baru. Meskipun putusan MK dapat memperpanjang masa jabatan tersebut, Castro berpendapat bahwa hal ini tidak bersifat inkonstitusional. Meski demikian, MK dianggap memiliki dasar hukum yang kuat dalam membuat keputusan tersebut.

Selain kontroversi antara DPR dan MK, ada juga prediksi bahwa polemik ini dapat berdampak pada revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi di DPR. Ali Rif’an, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI), menilai bahwa hal ini sebenarnya merupakan bagian dari mekanisme pengimbangan antara lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Meskipun kontroversial, keputusan MK dianggap penting untuk meningkatkan kualitas pemilu dan partisipasi politik di Indonesia.

Source link